MENGUSAP / MENYAPU KHUF

 MENGUSAP / MENYAPU KHUF


 a. Definisi Mengusap Khuf


-merupakan pengganti untuk membasuh kedua kaki dalam berwudhu. Dari segi bahasa, khuf berarti'menggerakkan tangan di atas sesuatu.' Sedangkan dari segi syara', khuf berarti menyentuh khuf yang tertentu dan di tempat tertentu, dengan tangan yang dibasahi dengan air dan dilakukan pada waktu yang tertentu.


 Adapun khuF dari segi syara' bermakna 'pakaian kulit atau sejenisnya yang menutupi dua mata kaki ke atas.' 


Bagian tertentu yang perlu diusap adalah bagian luar kedua khuf saja, bukan bagian dalamnya. 


Lama waktunya adalah sehari semalam bagi yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi mereka yang musafir


Maliki tidak memberikan batasan waktu untuk mengusap khuf 


disyariatkan sebagai satu rukhsah /keringanan). kaum Muslimin, terutama pada musim dingin, dalam perjalanan, dan bagi mereka yang sentiasa dalam tugas seperti tentara, polisi, penuntut ilmu, dan sebagainya. 






CARA MENGUSAP KHUF 


Ia dimulai dengan jari kaki diusap dengan jari tangan, setelah itu menuju bagian betis. 


Hanafi, kadar yang wajib diusap adalah kira-kira tiga jari dari jari-jari tangan yang paling kecil, mulai dari bagian depan atas pada setiap kaki, sebanyak sekali usapan dengan memperkirakan apa yang digunakan untuk mengusap. Dengan demikian, tidak sah seandainya mengusap di telapak kaki atau di tumit, di kiri kanannya, ataupun di betis. Usapan itu tidak disunnahkan untuk diulang dan diusap di sebelah bawah.


Tidak disunnahkan mengusap bagian bawah dan juga bagian belakang tumitnya


 Maliki  wajib mengusap seluruh bagian atas khuf. Adapun bagian bawahnya disunnahkan untuk diusap. 


Syafi'i pula, cukup dengan tindakan yang dinamakan sebagai mengusap. Ia seperti mengusap kepala yang dilakukan di tempat yang fardhu, yaitu bagian atas khuf bukan di bawah, tepi ataupun belakang tumit. 


Hambali berpendapat perlu mengusap sebagian besar bagian atas khuf


SYARAT-SYARAT MENGUSAP KHUF 



1. Adalah syarat mengusap bagi tujuan berwudhu. Adapun untuk tujuan junub, maka mengusap khuf tidak diperbolehkan. 


2.Memakai kedua-duanya pada waktu suci


(a) Hendaklah memakai khuf dalam keadaan suci. Jika dia memakainya pada waktu berhadats, maka tidak dia sah mengusap khuf. 


Ulama golongan Syi'ah Imamiyah membolehkan memakai khuf baik pada waktu suci atau tidak, 


(b) Hendaklah keadaan suci itu dihasilkan dari air bukan dengan debu.


Ini adalah syarat dari jumhur ulama selain ulama madzhab Syafi'i. jika dia bertayamum kemudian memakai khuf, maka menurut jumhur dia tidak boleh mengusap khuf karena dia memakai pada waktu suci yang tidak sempurna. Ia dianggap suci dalam keadaan darurat saja dan yang batal dari asalnya. 


Selain itu, tayamum sendiri tidak mensucikan hadats. Oleh sebab itu, dia memakainya pada waktu dia dalam keadaan berhadats. 


Syafi'i -jika tayamum dilakukan dengan sebab tidak ada air; maka dia tidak boleh mengusap khuf setelah mendapatkan air. Dia hanya wajib membuka khufnya dan mengambil wudhu secara sempurna. Sebaliknya, jika dia bertayamum karena sakit dan tidak bisa menggunakan air atau sebagainya, lalu berhadats, maka dalam kasus ini dia boleh mengusap khuf nya.


 [c) Hendaklah kesucian tersebut secara sempurna, yaitu dia memakainya setelah selesai semua wudhu atau mandi yang tidak membatalkan wudhunya. jika wudhunya batal sebelum membasuh kaki misalnya, maka dia tidak boleh lagi mengusap khuf, karena kaki tersebut telah masuk ke tempatnya pada waktu ia sedang berhadats. 



[d) Hendaklah orang yang mengusap itu tidak memakai khuf hanya untuk tujuan bermegah-megah, seperti memakai khuf dengan tujuan menjaga inai yang dipakai di kedua kaki, karena semata-mata hendak tidur, karena dia seorang hakim, hanya karena bertujuan mengusapnya saja, ataupun karena mengelakkan dari kutu, dan sebagainya. Dalam semua keadaan tersebut, mengusap khuf tidak dibolehkan. Akan tetapi jika ia dipakai karena untuk menghindari panas, dingin, becek, ataupun takut disengat kalajengking dan sebagainya, maka barulah dia boleh mengusapnya. 


[e) Janganlah memakai khuf menimbulkan maksiat. 

Maliki, Hambali, dan Syafi'i, - orang yang musafir yang maksiat( seperti derhaka kepada ibubapa, perompak) boleh mengusap khuf. 


Maliki - Jika perjalanan dilakukan dengan tujuan maksiat, maka kemudahan tersebut tidak boleh untuknya.


(f) Hendaklah khuf tersebut bersih serta menutup semua bagian kaki yang harus dibasuh ketika berwudhu .Mengusap khuf tidak boleh sekiranya khuf tersebut tidak menutupi dua mata kaki serta keseluruhan kaki. 


(g) tidak sah mengusap khuf jika ia najis, seperti khuf yang dibuat dari kulit bangkai yang tidak disamak, menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dan Syafi'i. Bahkan, yang telah disamak sekalipun mengikut pendapat ulama madzhab Maliki dan Hambali. Hal ini karena bagi mereka menyamak tidak akan menjadikan kulit bangkai tersebut menjadi suci. Menggunakan perkara yang najis adalah terlarang. 


3. Khuf tersebut boleh digunakan untuk meneruskan perjalanan 


Hanafi - hendaklah khuf tersebut mampu digunakan untuk perjalanan biasa sejauh satu farsakh  atau lebih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengusap khuf yang dibuat dari kaca, kayu, besi, ataupun yang terlalu tipis dan terkoyak bila digunakan untuk berjalan Mereka juga mensyaratkan khuf tersebut harus melekat di kaki tanpa diikat. 


Maliki - khuf tersebut digunakan untuk berjalan seperti biasa. Untuk itu, tidak boleh mengusap khuf yang luas, yang mana kaki pada seluruh waktu atau kebanyakan waktu tidak dapat berada tetap di dalamnya, tetapi senantiasa menggelongsor pada waktu berjalan. 


Syafi'i- khuf tersebut dapat digunakan untuk berjalan bolak-balik untuk melakukan keperluan mereka, dalam masa sehari semalam untuk orang yang bermukim dan bagi orang yang musafir dalam masa tiga hari tiga malam,


Hambali boleh mengusap khuf yang dibuat dari kulit, bulu yang dianyam dan ditenun, kayu, kaca, besi, dan sebagainya. Karena, semua itu merupakan khuf yang menutupi dan boleh digunakan untuk berjalan dengan syarat semuanya tidak longgar sehingga memperlihatkan bagian yang wajib dibasuh. 


4. Hendaklah khuf itu sempurna dan tidak ada yang robek. 


Maliki dan Hanafi secara istihsan dan untuk tujuan menghindari kesukaran, membolehkan mengusap khuf yang terdapat robek sedikit, karena kebiasaannya khuf selalu terdapat robek sedikit. 


Maliki, robek besar ini adalah yang tidak boleh dipakai lagi untuk meneruskan perjalanan. Yaitu, robek yang kira-kira satu pertiga kaki, baik itu ia terbuka ataupun bertaut di antara satu dengan lain, 


Hanya koyak yang sangat kecil saja yang dapat dimaafkan, yaitu yang tidak menyebabkan air sampai ke kulit kaki dari tangan yang basah pada waktu mengusap.


Hanafi, robek yang termasuk besar adalah yang sebesar tiga jari kaki yang terkecil. 


5. Hendaklah khuf dibuat dari kulit. 

Maliki- tidak boleh jika khuf yang dipakai dibuat dari kain, sebagaimana tidak sah mengusap sarung kaki (stoking) yaitu yang dibuat dari kapas atau bulu, kecuali jika dilapisi dengan kulit.jika tidak dilapisi kulit, maka mengusap di atasnya tidaklah sah. 


Syafi'i- tidak sah mengusap di atas sulaman tenun yang tidak dapat menghalangi air sampai ke kulit kaki, apabila dicurahkan air di atasnya melalui tempat jahitan apabila dicurahkan air ke atasnya, karena ia tidak tebal. 


Maliki mensyaratkan, hendaklah khuf itu dijahit. Mengusap tidak dibolehkan jika khuf itu digam .


Jumhur ulama selain madzhab Maliki membolehkan usapan ke atas khuf yang dibuat dari kulit, anyaman bulu, atau sebagainya. 


Syafi'i dan Hanafi mensyaratkan agar khuf tersebut hendaklah yang dapat menahan air sampai ke jasad, karena kebiasaan khuf berkeadaan demikian. 


Mengusap sarung kaki (stoking) 


Hanafi - bolehkan mengusap kedua stoking yang kuat, yaitu kira-kira jika dipakai, ia mampu digunakan untuk berjalan sejauh satu farsakh ataupun lebih. stoking ini pula tetap lekat pada betis orang yang memakai dengan sendirinya. Ia juga haruslah tebal, sehingga tidak dapat dilihat apa yang terdapat di baliknya. 


Hambali boleh mengusap stoking yang tebal, serta tidak jatuh apabila orang yang memakai berjalan.

Wajib mengusap di atas kedua stoking sekadar yang wajib. 


Ulama madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan mengusap khuf atau sepatu yang terbelah sampai ke kaki, yang mempunyai bagian betis dan diikat dengan tali, di mana tidak tampak sedikit pun tempat yang wajib dicuci apabila ia berjalan menggunakannya. 



6. Hendaklah khuf itu selapis.

Maliki, Hanafi dan Hambali

jika seseorang memakai jurmuq (lapisan luar khuf,) boleh mengusap khuf yang luar.


Hanafi menetapkan tiga syarat. 

[a) Hendaklah lapisan luar ini dibuat dari kulit. jika ia bukan kulit, maka sah usapan tersebut jika air yang diusapkan sampai ke khuf di bawahnya. 


[b) Hendaklah bagian luar itu dapat digunakan untuk berjalan secara perseorangan. jika ia tidak dapat, maka mengusap di atasnya tidak sah, kecuali usapan itu sampai ke khuf yang di bawahnya.


 [c) Hendaklah khuf atas dipakai dalam keadaan suci seperti juga memakai khuf yang bagian dalam. Ulama madzhab Hambali membolehkan mengusap khuf yang di luar sebelum berhadats, walaupun salah satunya robek. jika kedua-duanya robek, maka tidak boleh mengusapnya. Mengusap khuf di bagian dalam saja juga hukumnya boleh, yaitu dengan memasukkan tangan ke bawah khuf yang di luar dan mengusapnya. Karena, kedua-duanya merupakan tempat yang boleh diusap. 


Syafi'i, tidak cukup hanya dengan mengusap lapisan khuf yang luar saja (apabila memakai dua lapis khuf yang keduanya sesuai untuk diusap). 


7. Memakai khuf yang halal 

menurut Maliki dan Hambali.-tidak sah mengusap khuf yang dirampas. Begitu juga khuf yang haram digunakan seperti yang dibuat dari sutra bagi lelaki),


Hambali - berihram haji atau umrah tidak boleh mengusap khuf walaupun dengan keperluan. 


Syafi'i juga menyatakan, semua syarat ini tidak diperlukan. Seseorang itu dapat mengusap walaupun khuf yang dipakainya digunakan tanpa seizin pemiliknya atau dibuat dari sutra tebal anti air), ataupun yang dibuat dari perak ataupun emas untuk lelaki dan lainnya. 


8. Hendaklah khuf itu tidak menampakkan kaki baik itu disebabkan oleh sinar ataupun terlalu tipis. 


Hambali. Dengan demikian, tidak sah mengusap khuf yang dibuat dari kaca, karena ia tidak menutup anggota tubuh yang wajib dibasuh. tidak sah mengusap khuf yang menampakkan kulit disebabkan terlalu tipis. 


Maliki, sebaiknya khuf dibuat dari kulit. 


Hanafi dan Syafi'i, ia harus dapat menghalang air sampai ke kaki, selain melalui tempat jahitannya kalaulah dicurahkan air ke atasnya. Karena kalau demikian, ia tidak tembus air. sah mengusap khuf yang dibuat dari kain nilon tebal serta bahan lain yang sejenisnya. Karena, tujuannya adalah untuk menghalang dari diresapi air. 


9. Masih ada sisa dari bagian telapak kaki sekadar tiga jari tangan yang terkecil. 

Hanafi, seseorang itu telah terpotong sebagian kakinya, supaya masih ada bagian yang diusap sekadar yang fardhu. Seandainya seseorang itu terpotong kakinya di atas mata kaki, maka gugurlah kewajiban membasuh kaki dan tidak perlu lagi dia mengusap khufnya. Dia hanya perlu mengusap khuf untuk kaki yang satu lagi. Seandainya masih ada bagian telapak kaki yang tersisa, tetapi tidak sampai sekadar tiga jari, ia tidak boleh diusap. Karena, bagian itu fardhu dibasuh. Berdasarkan hal ini, seseorang yang tidak mempunyai bagian punggung kaki, tidak boleh mengusap khuf, walaupun bagian tumitnya masih ada. Karena, ia bukan merupakan tempat untuk diusap bahkan ia wajib dibasuh. 


Menurut pendapat fuqaha yang lain, mengusap khuf sah dilakukan ke atas khuf yang dipakai menutupi setiap bagian kaki yang masih ada, yang pada asalnya wajib dibasuh. jika daerah yang wajib dibasuh telah tiada dan hanya tinggal satu kaki saja, maka dia hanya perlu mengusap khuf untuk kaki yang ada. 




JANGKA MASA MENGUSAP KHUF


jumhur-bermula dari berlaku hadats setelah memakai khuf,hingga waktu yang sama pada hari kedua untuk yang bermukim 


dan pada hari keempat bagi mereka yang musafir. 


maka siapa yang berwudhu pada waktu terbit fajar, kemudian dia memakai khuf-nya dan setelah terbit matahari baru berhadats, kemudian setelah tergelincir matahari barulah dia berwudhu dan mengusap khuf-nya maka jika dia seorang yang bermukim, dia boleh mengusap hingga waktu yang sama dengan waktu dia menghilangkan hadats itu pada hari berikutnya. Yaitu, setelah tergelincir matahari hari kedua. 

 jika dia musafir; maka dia boleh mengusap hingga tergelincir matahari pada hari keempat. 


PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN MENGUSAP KHUF


1. Semua perkara yang membatalkan wudhu . Wajib bagi dia mengambil wudhu dan mengusap lagi jika jangka waktu untuk mengusap masih ada. jika jangka waktunya telah habis, maka dia hendaklah berwudhu dan membasuh kedua kakinya. 


2. Junub atau sejenisnya. 


3. Membuka salah satu dari kedua khuf ataupun kedua-duanya.


4. Terbuka sebagian dari kaki karena tersingkap atau terbukanya tali pengikat dan sebagainya. menurut Syafi'i dan Hambal


Hanafi- batal apabila terbuka sekadar tiga jari kaki. 

Maliki- batal apabila khuf-nya terkoyak atau terbuka jahitannya sebesar sepertiga dari bagian kaki,Seandainya tempat yang terbuka itu terlalu kecil, yang mana basah air yang ada di tangan pada waktu mengusap tidak dapat sampai ke kaki yang berada di sebaliknya, maka tidak menjadi apa-apa. 


5. Apabila sebagian besar dari salah satu kaki yang di dalam khuf dibasahi air, meskipun khuf itu bagus. 


6. Habis jangka waktu masa, yaitu apabila berakhir sehari semalam untuk yang bermukim dan tiga hari tiga malam bagi yang musafir.

Comments

Popular posts from this blog

TAHARAH : UKURAN DAN NAJIS YANG DIMAAFKAN

TAHARAH : HUKUM GHUSALAH/ AIR MUSTAKMAL

TAHARAH : PEMBAHAGIAN NAJIS