MENGUSAP BALUTAN

 MENGUSAP BALUTAN 


MAKSUD BALUTAN 


adalah bilah-bilah kayu atau buluh yang diluruskan dan diikat pada bagian anggota yang patah atau terbuka untuk menguatkannya.


membalut tempat patah dengan semen, 


balutan luka di kepala atau tempat pembuangan darah,balutan kudis, balutan luka yang disebabkan operasi, dan sebagainya. 

sesuatu yang diikat pada tempat luka, kudis, dan tempat membuang darah.


HUKUM


Mengusap balutan merupakan perkara mubah di sisi syara'.


Hanafi wajib, namun bukan fardhu. 

Jumhur, mengusap balutan dengan air adalah wajib atau difardhukan kerana  mengusap balutan ini lebih besar daruratnya dibandingkan dengan khuf.


Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengusap balutan sebelah kaki serta mengusap khuf untuk kaki yang sebelah lagi yang sehat. Hal yang boleh hanyalah menggabungkan antara membasuh serta mengusap balutan. 



SYARAT-SYARAT


1. balutan tidak boleh dibuang, atau seandainya dibuang dan dicuci dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit, bertambah sakit, ataupun memperlambat kesembuhan. 


 Maliki -, jika dikhawatirkan menyebabkan kematian ataupun menyebabkan kemudharatan yang parah, maka hukum mengusap balutan menjadi wajib. Contohnya, menyebabkan hilang fungsi suatu anggota badan, menjadi tuli, buta, atau sebagainya. 


Jika mengusap tempat tersebut boleh dilakukan dan tidak membawa mudharat, maka tidak boleh mengusap balutan. 


 jika seorang yang mengidap penyakit mata atau dahi dan tidak dapat mengusap mata dan dahinya karena takut membahayakan, maka hendaklah dia meletakkan kain ke atas mata atau dahinya, dan mengusap di atasnya. 


Hanafi berpendapat, mengusap juga tidak perlu dilakukan, seperti halnya membasuh jika ia menyebabkan timbulnya bahaya. 


Syafi'i, tempat sakit tidak perlu diusap dengan air; hanya perlu membasuh anggota yang sehat dan bertayamum untuk anggota yang sakit dan mengusap ke atas balutan jika ada.



-menggabungkan tiga perbuatan secara bersamaan yaitu membasuh, mengusap balutan, dan bertayamum. Dia tidak perlu mengusap tempat sakit dengan air sekalipun dia tidak bimbang menimbulkan mudharat. Karena, yang wajib adalah membasuh. Namun, sunnah jika dia mengusap. 


Meletakkan kain ke atas tempat sakit dengan tujuan untuk mengusap juga tidak wajib, karena mengusap adalah satu kelonggaran. 


Syafi'i juga mewajibkan bertayamum secara mutlak, 

4. balutan tersebut hendaklah dipasang dalam keadaan orang tersebut bersuci dengan air. jika tidak, maka shalatnya wajib diulang. Ini adalah syarat yang ditetapkan oleh ulama madzhab Syafi'i dan Hambali. Alasan mereka, karena mengusap jabirah adalah lebih utama dari mengusap khuf karena ia berdasarkan keadaan darurat. Mengusap khuf disyaratkan ia dipakai dalam keadaan suci [berwudhu atau mandi). Shalat tidak perlu diulang sekiranya balutan atau balutan itu sekadar perlu dan ia dipakai sewaktu dalam keadaan suci, dan [pada waktu berwudhu) membasuh bagian yang sehat, serta bertayamum untuk bagian tempat luka serta mengusap di atas balutan. 


jika balutan dan balutan itu diikat sewaktu dalam keadaan tidak suci, maka balutan itu harus dibuka untuk membasuh anggota yang berada di bawahnya, jika dia tidak bimbang menyebabkan kemudharatan. jika bimbang tindakan membuka tersebut menyebabkan maut atau bahaya, maka bertayamum dapat untuk dijadikan pengganti anggota yang dibalut itu. jika balutan itu meliputi semua bagian tayamum (muka dan dua tangan), maka ulama madzhab Hambali berpendapat, kewajiban bertayamum itu gugur. 


Ulama madzhab Syafi'i berpendapat dia perlu sholat lagi, karena kedudukannya sama dengan mereka yang tidak mempunyai kedua alat untuk bersuci. 


Ulama madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan supaya balutan itu dipakai pada waktu suci. Oleh sebab itu, baik ia dipakai sewaktu dalam keadaan suci ataupun dalam keadaan berhadats, dia tetap boleh mengusapnya dan tidak perlu mengulangi shalatnya apabila dilakukan dengan sah. Hal ini untuk mengelakkan kesukaran. Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang paling munasabah, karena biasanya memakai balutan ini terjadi secara tiba-tiba. Oleh sebab itu, mensyaratkan keadaan suci sewaktu memakainya dianggap menjadi satu kesulitan dan kesusahan. 


5. balutan itu hendaklah tidak menggunakan bahan yang dirampas, seandainya ia seorang laki-laki hendaklah bukan dari bahan sutra yang diharamkan. balutan juga bukan bahan najis seperti kulit bangkai atau perca kain yang najis. Dalam keadaan ini, mengusap balutan tidak sah dan shalatnya juga tidak sah. Syarat ini adalah syarat yang ditetapkan menurut ulama madzhab Hambali. 



KADAR YANG HARUS DIUSAP 


Hanafi, cukup mengusap sebagian besar balutan dengan satu kali usap. Ulama bersepakat mengatakan, ia tidak perlu diratakan dan diulang serta tidak perlu diniatkan seperti dalam mengusap khuf, mengusap kepala, dan mengusap serban.


Jumhur-wajib mengusap seluruh balutan dengan air; sedapat mungkin hendaklah ia dilakukan dengan menggunakan air. Oleh karena mengusap balutan hanya sebagai pengganti membasuh bagian yang dibalutan, yang mana ketika membasuh anggota tersebut harus dicuci secara menyeluruh, begitu juga pada waktu mengusapnya. Mengusap balutan secara keseluruhan tidaklah membawa kemudharatan, tidak seperti mengusap khuf. Karena, khuf mungkin akan pecah atau rusak jika diusap seluruhnya. 


Ulama madzhab Maliki dan Hanafi juga menjelaskan, pada asalnya hal yang wajib adalah membasuh ataupun mengusap tempat luka itu sendiri seandainya dapat dilakukan tanpa ada kemudharatan. jika tidak dapat diusap ke atasnya, maka hendaklah diusap di atas balutan luka (yaitu tempelan yang mengandung obat dan dilekatkan di atas tempat luka atau sebagainya, juga yang diletakkan di atas mata yang sakit). 


Seandainya tidak dapat mengusap balutan atau balutan dan tidak dapat juga mengubahnya, maka hendaklah mengusap pengikat yang ada di atasnya, walaupun banyak. Mengusap pengikat tidak cukup jika dia mampu mengusap di atas lapisan yang di bawahnya.


 JANGKA WAKTU MASA untuk mengusap balutan juga tidaklah dibatasi, bahkan dia dapat melakukannya sampai sembuh. 


Bagi yang berhadats menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan Hambali haruslah melakukannya pada waktu membasuh bagian anggota yang sakit, agar terlaksana tertib yang menjadi syarat menurut pendapat mereka. 


Dia juga boleh melakukan tayamum dahulu sebelum mengusap dan membasuh tempat tersebut dan cara ini lebih utama. Pembalut yang menutup anggota itu wajib diusap walaupun terdapat darah. Karena dalam keadaan ini, ia dimaafkan dari menggunakan air untuk bersuci.


Mengusapnya merupakan pengganti dari bagian anggota yang sehat. Oleh sebab itu, kalau balutan itu tidak melindungi bagian anggota yang sehat ataupun melindungi sedikit, tetapi dibasuh dengan air maka menurut pendapat yang kuat dari kalangan ulama madzhab Syafi'i, ia tidak wajib Iagi mengusap.


jika dia sembuh pada waktu berwudhu, maka tayamumnya menjadi batal dengan sendirinya. Karena penyebab yang membolehkan bertayamum telah terhapus dan dia wajib membasuh tempat uzur berkenaan, baik karena berjunub ataupun berhadats kecil, dan ia tidak perlu bersuci lagi dari awal. 


Keadaan suci tidak menjadi batal secara keseluruhan disebabkan batalnya sebagiannya. Menurut mereka, orang yang berhadats haruslah membasuh anggota yang di luar tempat uzur itu, untuk melaksanakan tertib, seperti jika dia tidak menyadari atau terlupa satu tumpuk. Ini berbeda dari orang yang berjunub, karena dia tidak perlu membasuh anggota yang setelahnya. Karena dalam melakukan mandi wajib, semua fuqaha bersepakat ia tidak memerlukan tartib. 



PERLUKAH MENGGABUNGKAN ANTARA MENGUSAP BALUTAN DAN TAYAMUM? 


Hanafi dan Maliki cukup dengan mengusap balutan saja. Tidak perlu lagi melakukan tayamum, 


Syafi'i perlu menggabungkan di antara mengusap balutan dan bertayamum. Dengan demikian, seseorang itu harus membasuh anggotanya yang sehat, mengusap balutan dan wajib juga bertayamum

jika tubuhnya mempunyai banyak balutan, kemudian dia junub dan hendak bersuci, maka dia cukup bertayamum sekali untuk semuanya. 


Dalam keadaan berhadats kecil, maka menurut pendapat yang ashah, ia harus mengulangi tayamum sesuai jumlah anggota wudhu yang sakit dan berbalut tersebut, dan dapat mengusap pada setiap balutan yang mencakupi anggotanya. Berdasarkan hal ini, seandainya dia mempunyai luka atau kecederaan di keempat anggota wudhu. Akan tetapi kecederaan itu tidak menyeluruh, maka dia dapat bertayamum sebanyak tiga kali: pertama untuk muka, kedua untuk dua tangan, dan ketiga untuk dua kaki. Sedangkan bagian kepala, cukuplah dengan sebagiannya. jika kecederaan meliputi seluruh kepala hingga tidak dapat diusap, maka dia perlu melakukan empat kali tayamum.


 jika kecederaannya menyeluruh pada anggota wudhunya, maka dia harus bertayamum sekali saja. 


Hambali mengusap balutan saia tanpa bertayamum sudah cukup, seandainya balutan tersebut tidak melebihi kadar yang diperlukan, karena dia telah mengusap tempat yang dibenarkan. Oleh sebab itu, dia tidak perlu bertayamum lagi, sama seperti mengusap khuf, bahkan lebih utama. Karena, orang yang menghadapi keadaan darurat lebih utama diberikan keringanan,


Seseorang itu dapat mengusap dan juga bertayamum jika balutannya melebihi tempat berkenaan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan kemudharatan jika membuangnya. Tayamum merupakan pengganti bagian yang di luar keperluan. Dengan demikian, ia menggabungkan antara membasuh, mengusap, dan bertayamum. 


Seandainya tempat luka tidak dibalut, maka haruslah dibasuh bagian anggota yang tidak cedera dan bertayamum untuk yang cedera. 


PERLUKAH MENGULANG SHALAT SETELAH SEMBUH? 


Hanafi dan Maliki  tidak mewajibkan shalat semula setelah sembuh dari luka atau cedera. 


Syafi'i dan Hambali, mereka mewajibkan supaya mengulangi shalat yang telah dikerjakan 


Syafi'i, shalat harus diulang dalam tiga keadaan berikut:


1 Seandainya balutan tersebut pada anggota tayamum [muka dan tangan) baik dipakai sewaktu dalam keadaan suci ataupun berhadats. 

2. Apabila balutan dipakai pada waktu tidak suci atau berhadats, baik ia pada anggota tayamum ataupun anggota lain. 

3. Apabila balutan dipasang lebih dari ruang yang perlu atau lebih dari tujuan untuk menyembuhkan, baik ia dipakai pada waktu suci ataupun berhadats. 


shalat tidak perlu diulang dalam dua keadaan berikut: 

1. Apabila balutan tersebut dibuat selain pada anggota tayamum dan tidak menutupi bagian yang tidak sakit walau sedikitpun, meskipun ia dipakai pada waktu berhadats.

2. Apabila balutan tersebut pada selain anggota tayamum, dan dipakai sewaktu suci walaupun ia melebihi kadar yang perlu.



PERKARA YANG MEMBATALKAN MENGUSAP BALUTAN


1. Apabila balutan itu dibuang ataupun terbuka ketika cederanya telah sembuh, karena perkara yang menjadi uzur telah hilang. jika pada waktu itu dia sedang shalat, dia wajib memulai lagi shalatnya setelah mengambil wudhu yang sempurna, karena dia telah mampu melaksanakan kewajiban yang asal sebelum selesai melakukan dengan penggantiannya. Sebaliknya, kalau ia terbuka sebelum sembuh, maka hukum untuk mengusap tidak batal, karena perkara yang menjadi uzur masih wujud. 


Maliki , mengusap balutan dapat menjadi batal dengan membuka balutan tersebut ataupun terbuka sendiri, baik ia terjadi dengan tujuan untuk berobat ataupun untuk tujuan lain. jika luka telah sembuh, maka hendaklah membasuh tempat berkenaan dengan segera. jika masih belum sembuh dan menukar balutan atau balutan bagi meneruskan pengobatan, maka bolehlah mengusap lagi.pada waktu sedang shalat balutan terjatuh atau terbuka, maka shalat tersebut menjadi batal. balutan tersebut perlu dipakai lagi dengan segera dan mengulangi mengusap, jika tidak berselang lama.


Syafi'i berpendapat, jika balutan atau balutan terbuka pada waktu sedang shalat, maka shalatnya dianggap batal, baik ia telah sembuh dari lukanya ataupun belum. Kedudukannya seperti khuf yang terbuka. Begitu juga apabila kecederaannya telah sembuh, maka keadaan sucinya menjadi batal. jika belum sembuh, maka dia boleh memakai balutan tersebut di tempatnya dan hanya perlu mengusapnya lagi.


 Hambali berpendapat, balutan yang terbuka memiliki hukum yang sama dengan kecederaan yang dibalutan itu sembuh, walaupun luka atau kecederaan itu sebenarnya belum sembuh. 



2. Berhadats. Para ulama bersepakat bahwa mengusap balutan juga menjadi batal apabila berhadats. 


Syafi'i, seandainya seorang yang mengusap balutan itu berhadats, maka ia harus mengulangi lagi tiga hal. Yaitu, membasuh bagian anggota yang sehat, mengusap balutannya, dan bertayamum. jika ia tidak berhadats dan ingin mengerjakan shalat fardhu yang lain, maka ia perlu bertayamum saja tanpa harus mengulangi membasuh dan mengusap balutan.


Comments

Popular posts from this blog

TAHARAH : UKURAN DAN NAJIS YANG DIMAAFKAN

TAHARAH : HUKUM GHUSALAH/ AIR MUSTAKMAL

TAHARAH : PEMBAHAGIAN NAJIS